Sebenarnya, pernah beberapa waktu yang lalu gue memutuskan untuk enggak nulis-nulis lagi. Gue ngerasa kok gue untuk nulis itu males banget. Dan berpikir bahwa mungkin menulis bukan bidang gue. Tapi, kadang gue minder juga, ngeliat cover buku teman-teman gue yang produktif abis. Emang, kita masih kecil. Tapi kita bisa berkarya. Mungkin bukan kita, tapi mereka:/ *karena jelas gue pemalas abis*
Selain itu, gue juga kadang malu. Nulis hal-hal yang (bagi gue) gak jelas, terlalu kekanak-kanakkan. Apalagi di novel pertama gue. Gue pun gak nyangka bisa nulis cerita sedemikian rupa! Dan sekali lagi, itu novel anak-anak. Gue yang udah SMP, jujur, malu. Gimana kalau ada yang ngeledek gue dan bilang gue anak SMP tapi imajinasinya anak SD? Makanya, cuma sedikit orang yang tau tentang novel pertama gue. Guru-guru pun juga sangat sedikit yang tau. Karena gue gak membeberkan, dan gue bilang ke temen-temen gue yang tau tentang novel pertama gue biar mereka gak menyebarkan hal itu.
But my expectation was wrong. Sangat salah. Beberapa teman yang tau, sangat ngedukung. Bahkan ada beberapa teman yang jadi suka nulis gara-gara gue. Ada yang nanya, gimana caranya. Nanya tentang kepenulisan, nanya tentang cara ngirim naskah. Dan gue ngerasa bahwa ternyata ketakutan gue selama ini itu adalah kebodohan yang baru gue sadari. Takut akan hal-hal yang belum terjadi, is it weird? No, it's extremely weird!
Makanya, gue mulai bersemangat nulis lagi. Apalagi gue barusan browsing tentang pengiriman naskah dibeberapa penerbit. Beberapa minggu lalu juga gue nulis kerangka tulisan, nama tokoh dan lainnya. (Padahal besoknya mau uts:p) Tapi untuk sekarang, gue berpindah genre. Genre remaja:))) Karena gue rasa, gue sudah sampai pada titik jenuh gue. Dan gue sangat butuh hal baru. Tapi, ada dua draft novel yang belum selesai. Gue bakal selesaikan (insyaAllah), lalu mulai dengan project baru.
Gue bakal belajar untuk percaya diri, bangga sama karya gue sendiri. Terserah, orang mau ngeledek gue aneh, atau apapun. Yang penting gue bisa berkarya. Gak cuma ngomong dengan maksud ngejek orang. Omong kosong yang kayak gitu gue rasa amat sangat gak penting untuk didengar, apalagi ditanggapi. Dan pada saat itulah, kita pantas menerapkan 'masuk kuping kanan, keluar kuping kiri'.
(Setelah nulis sepanjang ini, gue merasa on fire. Oke, gak lucu.)
Kebetulan, pas buka folder naskah-naskah, gue menemukan satu cerita tanpa judul. Gue inget, gue nulis cerita ini untuk ikut nulis rame-rame sama teman-teman dunia maya yang belum pernah gue lihat di kehidupan nyata. Sayangnya, deadlinenya terlalu cepat. Jadi ada beberapa teman ada yang gak bisa nyelesaikan naskahnya. Gue, dengan keahlian ngetik asal dengan beberapa jari saja, dalam 3 hari bisa menyelesaikan naskah gue! Sayangnya, belum ada judulnya. Ini cerita pertama genre remaja yang gue tulis. Bukan yang pertama deh, entah yang ke berapa, tapi yang gue temukan cuma ini. Sooo, gue mau berbagi. Minta komentar (yang membangun, tentunya). Atau ada yang bisa bantu usul judulnya? Boleh juga. Yang terpenting sekarang, semoga ada yang bersedia baca cerita ini.
Tahun ajaran baru. Kelas baru. Yang aku yakin akan banyak hal baru yang
akan datang menghampiri kehidupanku. Pelajaran baru, orang-orang baru, akan
segera masuk ke dalam kehidupanku. Begitu pun sebaliknya. Sebagian orang di
masa lalu, akan merangkak, pergi dari kehidupanku. Menentukan jalan sendiri,
untuk mencapai tujuannya sendiri.
Aku akan berusaha menyesuaikan diri, dengan apa yang akan terjadi di
kehidupanku. Tidak peduli, siapapun itu yang akan memasuki kehidupanku. Yang
pasti, saat ini, dia masih tertangkap dalam penglihatanku. Fadly, teman
laki-lakiku. Yang Ibuku bilang bahwa dia adalah tetanggaku saat masih di
Surabaya. Yang katanya dulu, pernah satu sekolah bersamaku saat sekolah dasar
dulu. Entahlah, katanya, tapi aku
melupakan semua itu.
Seketika ia menatap kearahku. Dengan terburu-buru aku mengalihkan
pandanganku ke buku catatan Fisika yang sedari tadi menunggu dirapihkan. Dasar, anak itu selalu saja tahu jika sedang
diperhatikan.
Masih tetap menatap buku catatanku, aku melirik ke arahnya. Ia berjalan
menuju tempat duduknya, yang tepat berada di depanku. Aku mengambil pulpen,
cepat-cepat menyalin catatan yang ada di papan tulis. Ternyata tidak, ia
berhenti tepat di depan mejaku.
“Ini namanya Doraemon,” ia mengambil miniatur boneka Doraemonku yang ku
letakkan di atas meja. Miniatur itu selalu ku bawa ke mana pun aku pergi. Ia
menatapnya dengan seksama, memutar balikkan tubuh boneka itu.
Aku berhenti menulis, mengalihkan pandanganku kepadanya,“Tidak di beri
tahu pun aku juga tahu kalau itu Doraemon!”
“Sepertinya dia sakit.” Ia mengusap dagu, lalu tanpa menghiraukan
ucapanku, ia segera duduk di tempat duduknya. Entah apa yang ia lakukan, namun
itu cukup membuatku penasaran. Aku bangun dari tempat dudukku, duduk di
sampingnya sambil mengamati setiap gerak-geriknya. Ia menuliskan sesuatu di
atas sebuah kertas, lalu menggulung kertas itu dan menempelkannya pada tubuh
miniatur Doraemonku itu.
“Sudah sembuh.” Ia mengembalikan boneka itu kepadaku, lalu berjalan
menghampiri beberapa anak lelaki yang sedang berkumpul di depan kelas, asik
bermain kartu remi. Aku pun segera membuka gulungan kertas itu.
Pulang sekolah bersama?
Aku tergelak kecil. Kejutan lagi. Aku tersenyum ke arahnya. Tanpa sadar
tatapan kami beradu. Tidak ingin menghancurkan suasana ini, aku mengacungkan
ibu jariku, sambil tetap tersenyum. Ia pun tertawa pelan.
Inilah yang kusuka darinya. Sesuatu yang tak terduga. Kejutan sederhana
yang tanpa kusadari membuat hatiku melambung. Entah kapan perasaan ini muncul,
sepertinya aku mulai tertarik dengannya.
***
“Za, kamu pernah gak sih, suka sama seseorang?” Liya memandangku.
Dengan tatapannya yang seperti itu, aku tahu ia sedang ingin bicara serius. Aku
pun meneguk minumanku, lalu mencari posisi yang enak.
“Pernah. Sekarang pun begitu. Kayaknya sih,” ucapku menimbang-nimbang.
“Aku lagi suka sama seseorang.”
“Laki-laki atau perempuan?” aku tergelak, lalu dibalas dengan sebuah
pukulan yang cukup kencang di lenganku.
“Laki-lakilah. Aku perempuan tulen, tau! Serius deh, aku lagi suka sama
seseorang...”
Aku menunggunya melanjutkan ucapannya. Satu detik... dua detik... tetap
diam. Aku memiringkan sedikit kepalaku ke arahnya, “Lalu?”
“Lalu?”
“Itu wajar, Ya. Itu tandanya kamu normal. Lalu, sekarang masalahnya
apa? Ngomong-ngomong, siapa laki-laki beruntung itu? Anak sekolah kita, atau
smp lain?”
Liya menunjuk ke arah seorang anak laki-laki yang sedang memunggungi
kami. Ia sedang berkumpul dengan
beberapa anak laki-laki yang tergabung dalam ekskul futsal. Aku tercekat, saat
laki-laki itu membalikan badannya. Fadly. Lagi-lagi ia tahu bahwa ia sedang
diperhatikan... dan ia tersenyum kepadaku, sambil melambaikan tangannya.
“Aku harus gimana? Kamu kan deket tuh sama dia.”
Dan karena ‘dekat’ itu pula yang membuat aku mulai melihatnya.
Memerhatikan setiap gerak-geriknya, tersenyum saat ia memainkan gitarnya,
tergelak dengan setiap kejutan kecil darinya. Aku menyukainya. Apapun
tentangnya, tanpa alasan apapun. Entah, aku egois atau apa, tapi aku memiliki
keinginan untuk memilikinya. Hanya untukku, tidak untuk dibagi oleh siapapun.
Mungkin memang belum pantas untuk anak remaja sepertiku. Dan aku juga tidak
mengharapkan lebih. Aku hanya ingin dia terus bersamaku, tanpa membagi ruang
kebersamaan kami dengan orang lain.
“Apa hubungannya denganku?” aku cemberut.
“Kamu kan dekat sama dia.”
“Lalu?” aku kembali meneguk minumanku, hingga benar-benar habis.
“Kenalin aku lah. Buat kami deket.”
“Hih, males banget. Tanpa upah pula.”
Aku meninggalkan Liya dengan wajah masamnya. Upah bukanlah suatu
alasanku menolak permintaannya. Saat ini yang aku pikirkan hanya aku,
perasaanku, dan juga Fadly. Keegoisan melandasi segalanya. Kata orang, cinta
itu buta. Aku memang benar-benar buta, hingga dengan Liya, tetangga sekaligus
sahabatku semenjak aku menginjakkan kaki di Jakarta, aku tega menghancurkan
hatinya. Maafkan aku.
Seseorang menepuk bahuku. Anak
ini lagi...
“Kenapa tadi nunjuk-nunjuk aku?”
“Siapa yang tadi nunjuk-nunjuk kamu?”
“Liya. Tadi kan dia sama kamu. Lagi ngomongin aku? Yang baik atau yang
buruk?”
“Memangnya kamu ada yang baiknya?”
“Sialan!”
Kami pun tertawa. Seketika rasa kesal itu berganti dengan senang. Entah
dia berasal dari negeri sihir mana, setiap kali bersamanya, atau mendengar
suaranya, sejurus perasaan hangat merasuki tubuhku. Atau mungkin dia manusia
biasa, namun perasaanku kepadanya yang membuat dia begitu ajaib?
“Nanti ke rumah yuk. Udah lama kita gak main. Semenjak masuk tahun
ajaran baru, kita jadi sibuk sama
diri sendiri. Kangen banget main bareng.”
Aku menunduk, menggigit bibir bawahku. Menahan agar senyumku tak
mengembang. Sudah ku katakan belum, bahwa anak ini ajaib?
Aku mengangguk. Ia pun menepuk punggungku sekali lagi, lalu berlari ke
arah lapangan basket. Aku tahu apa yang ingin dia lakukan. Kebiasaannya,
menjadi hama diantara anak-anak yang sedang berlatih basket. Merebut bolanya,
lalu membawanya kabur.
Aku hafal hal itu. Dan segala sesuatu tentangnya. Aku harap, aku
menjadi satu-satunya orang yang sangat memahami, dan mengetahui apapun
tentangnya. Tanpa sadar aku tersenyum, melihat tingkah jenakanya sungguh
merupakan hiburan gratis yang sangat membuatku candu.
Dia sangat ajaib bukan?
***
“Gimana, gitar baruku, keren?” tanya Fadly sesampainya aku di rumahnya.
Dengan bangga ia memamerkan gitar baru pemberian ayahnya karena ia masuk 3
besar pada kenaikan kelas yang lalu.
Setelah dijamu dengan segelas es teh dan sepiring pisang goreng oleh Tante
Hartati, kami mengobrol di teras depan. Fadly tak henti-hentinya berbicara
tentang gitar barunya. Perjuangannya hingga mendapatkan gitar itu, suara merdu
yang dihasilkannya, dan berbagai macam pujian ia ucapkan untuk gitarnya. Aku
hanya diam, pura-pura memperhatikan ucapannya, padahal aku lebih tertarik
melihat bagaimana ia menyampaikannya. Mulutnya yang yang berkomat-kamit tidak
berhenti berbicara, matanya yang sibuk menerawang, dan sesekali ia memejam
sambil tersenyum. Tangannya yang kurus membelai-belai tubuh gitarnya, sesekali
asal memetik, lalu bertanya, “Keren kan?” dan hanya ku jawab dengan sebuah
anggukan.
“Tapi, aku belum pernah benar-benar memainkannya. Kamu mau nyanyi?”
“Suaraku kan jelek. Kamu selalu berkata begitu setiap kali aku
bernyanyi,” Jawabku singkat. Padahal dalam hati aku menjerit kesenangan.
“Tapi aku menikmatinya.”
Tiba-tiba rintik hujan turun. Aroma petrichor
mulai memenuhi rongga hidungku. Aku memejamkan mata sejenak. Menikmati
kesunyian dan kesejukan ini. Tiba-tiba Fadly mulai memetik gitarnya. Aku
melirik ke arahnya. Ia sedang memejamkan mata, menikmati permainan gitarnya
sendiri. Aku memejam kembali, mulai bersenandung, lalu menyanyikan lagu yang
menjadi lagu favoritku itu. Kami pun larut dalam keheningan. Menikmati petikan
gitarnya yang berpadu dengan setiap rintik hujan.
“Aku salah. Suara kamu bagus.”
“Tentu saja, memangnya kamu pernah benar?” aku tergelak.
“Tapi suara gitar ini membuatmu ingin bernyanyi tanpa diminta, bukan?”
Kamulah yang membuatku ingin
menyanyi. “Aku cuma tes vokal. Itu belum benar-benar bernyanyi.”
“Halah, biasanya juga suara kamu ngalahin ayam. Tumben-tumbenan aja
bagus.” Ia tergelak. Aku balas dengan pukulan yang sangat kencang hingga ia
mengaduh kesakitan. Lalu ia menjewer kupingku, dan aku balas menjambak
rambutnya yang sedikit gondrong. Di bawah dinginnya rintik hujan, ada tawa
hangat yang terjalin antara kita. Aku selalu berharap, momen seperti ini bisa
kurekam, dan kapan pun aku mau, aku dapat mengulangnya kembali.
“Aku bakal balik ke Surabaya.”
Aku langsung terdiam, saat mendengar ucapannya itu. “Kita kan baru
masuk sekolah, dan sebentar lagi materi pelajaran juga semakin padat. Rugi
kalau kamu bolos.”
“Aku bakal menetap di sana. Untuk jangka waktu yang belum ditentukan.”
Aku segera menatapnya. Mencari kebohongan di manik matanya. Namun tidak
ku temukan. Raut wajahnya pun tidak menunjukan sedang bercanda. Aku tertawa.
“Aku serius, Faza.”
“Serius bercandanya? Hahaha, tapi hal kaya gini, gak pantas buat
dibercandain, Dly.”
“2 hari lagi aku ke Surabaya. Hari minggu. Dan rencananya besok aku mau
main futsal lawan anak SMP Tunas Bangsa. Kamu datang ya, jam 9 di lapangan
biasa.”
“Kalau aku datang, apa bisa kamu batal ke Surabaya?” aku terdiam.
Sedetik kemudian, tawaku memecah.
“Paling enggak, kita bisa ketemu sebelum aku pergi. Maaf, aku baru
ngasih tau kamu hal ini.”
“Maaf juga gak bakal ngerubah keadaan. Kamu juga bakal pergi. Kata kamu
kita sahabat, kenapa hal kayak gini baru kamu kasih tau ke aku? 2 hari sebelum
keberangkatanmu! Apa jangan-jangan kamu ngajak aku ke rumah kamu buat
perpisahan?” aku tertawa hambar. Mataku basah.
Ini kali pertamanya aku menyukai seseorang. Dan orangnya pun juga belum
mengetahui perasaanku ini. Aku benci keadaan ini. Benar dugaanku, cinta dapat
membuat kita terlihat bodoh. Benar-benar bodoh, hingga tidak bisa membedakan
yang mana realita dan yang mana lelucon. Tidak dapat menerima kenyataan,
berharap sedang berada di dalam mimpi. Dulu, aku selalu mengata-ngatai temanku
yang sedang jatuh cinta. Menangis dengan alasan yang tidak jelas, bahagia
berlebih dengan alasan yang sederhana. Dan kini aku merasakannya.
Dadaku sesak. Aku berharap bumi menelanku sekarang juga.
***
Jam 9 tepat. Aku memasuki area penyewaan lapangan futsal, dan langsung
menuju lapangan yang biasa di sewa anak-anak ekskul futsal setiap kali sparing dengan anak sekolah lainnya.
Benar. Sepertinya seluruh anak-anak ekskul futsal, baik yang akan bermain
maupun tidak, sudah berkumpul di sana. Itulah kebiasaan disekolahku, main
ataupun tidak bermain, datang merupakan kewajiban. Katanya, sih, bentuk dari solidaritas, dan saling
memberi dukungan. Entahlah dalam rangka apa dan sejak kapan kebiasaan itu
berlangsung, aku suka dengan kebiasaan yang satu itu.
Permainan sepertinya sudah di mulai. Kali ini, aku rasa aku tidak bersemangat
untuk memberikan dukungan seheboh biasanya. Aku rasa duduk dipinggir lapangan
lebih baik. Mungkin aku terlihat sedang memperhatikan permainan yang sedang
berlangsung. Namun sebenarnya, aku hanya memperhatikan gerakan seseorang
bernomor punggung 8. Dengan detil, aku mengikuti setiap gerakannya saat ia
menggiring bola. Tanpa bisa dikontrol pikiran ku melayang jauh, memikirkan
segala sesuatu yang belum benar-benar terjadi.
Menjadi sesedih ini, karena seseorang laki-laki. Baru kali ini aku
rasakan. Sering kali, aku berkata kepada teman-temanku, bahwa masih banyak
hal-hal sederhana yang dapat membuat kita bahagia, daripada membuang-buang
waktu memikirkan seseorang, yang tidak tahu mengenai kita. Atau mungkin, memang
tidak pernah mau tau tentang kita?
Dulu, sama sekali tidak pernah terpikirkan, bahwa Fadly akan pergi
meninggalkanku. Dia selalu bersamaku. Berada di sampingku. Setiap hari duduk di
depanku. Mungkin karena itu tidak pernah sedikit pun, terbersit rasa takut akan
kehilangannya. Tapi kini aku merasakannya. Takut untuk hal-hal yang belum
terjadi. Membayangkan bagaimana jika aku tidak dapat melihatnya setiap hari?
Mendengar permainan gitarnya, mendapat kejutan-kejutannya yang sederhana yang
membuatku senang, keusilannya, kepolosannya. Bermain di rumahnya sepulang
sekolah, mengobrol bersama jika aku sedang menemani Mamaku ke rumahnya. Aku
menggeleng. Terlalu pahit rasanya. Untuk sekedar membayangkan saja, aku takut.
“Ey! Datang juga. Makasih ya. Kita unggul!”
Aku menengadahkan kepalaku. Dia. Seseorang yang selama ini berada di
sampingku. Seseorang yang bayangnya selalu menari dikepalaku. Seseorang yang
akhir-akhir ini aku sadari, memenuhi ruang hatiku. Fadly.
“Ya. Selamat. Udah selesai?” tanyaku asal.
“Udah. Kan emang biasanya gitu, cuma 1 jam. Kamu kenapa?”
“Kenapa apanya? Ini, minum,” ucapku sambil menyodorkan sebotol air
mineral kepadanya. Ia mengambil botol air mineral tersebut, lalu, tanpa meminum
terlebih dahulu, ia berjongkok di depanku. Aku terkejut.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Kehilanganmu,” Ucapku pelan. “Kebiasaan, kan, gak bawa handuk? Untung aku bawa,” aku mengambil sebuah handuk
kecil di dalam tas yang aku pakai. Lalu menyodorkan kepadanya, “Jorok. Lap dulu
keringatmu.”
“Tuntutan pekerjaan Papa, Za. Aku juga gak bisa nolak. Mana mungkin
Papa tinggal sendiri di Surabaya? Aku juga sebenarnya gak mau,” ucapnya
memelas. Matanya sibuk menangkap tatapan mataku.
Aku hanya terdiam. Memainkan kukur-kuku jariku, dengan tetap menundukan
kepala. Aku tidak suka terlihat lemah dan bersedih seperti ini. Aku membenci
keadaan ini. Aku menghapus air mata yang mulai tampak di sudut-sudut mataku.
Menyedihkan.
“Aku mau pulang,” ucapku beberapa menit setelah itu. Fadly berdiri,
lalu duduk di sampingku. Ia meneguk air mineral yang tadi kuberikan, dan
menghapus keringat yang ada di sekitar pelipisnya, lalu dia mengembalikan
handuk yang tadi kuberikan. Aku menyodorkan kembali handuk itu, sambil
menggeleng.
“Aku antar?”
“Gak usah. Jam berapa besok kamu pergi?”
“Jam 3 pagi aku pergi ke Bandara. “
“Jaga diri kamu di sana. Aku bakal kangen. Serius deh,”
“Tumben, biasanya kamu gak peduli,” aku
selalu peduli. Hanya kamu yang tidak pernah sadar dan melihatku. “Bercanda.
Kamu orang yang paling perhatian setelah orang tuaku. Jaga diri kamu juga,
fokus belajarnya, sebentar lagi kan ujian. Aku juga pasti bakal rindu sama
kamu,” ia mengelus punggung tanganku, lalu menepuk-nepuk punggungku. Setelah
itu ia melepas sebuah gelang yang melingkar di pergelangan tangannya, dan
memasukan gelang itu ke pergelangan tanganku.
“Aku sayang kamu. Dan semoga kamu sadar hal itu. Jangan pernah lupa
sama aku, jangan pernah ngecewain orang tua kamu. Kita gak boleh lost contact. Oke?” aku memberanikan
diri menatap manik matanya, matanya ikut basah.
“Janji. Jangan cengeng gitu, ah. Aku jadi ikutan sedih,” ia mengalihkan
tatapannya. Seperti sedang menghapus sesuatu dari pelupuk matanya.
Aku menepuk punggungnya, saling bertatap. Mata kami sama-sama merah,
dan berkaca-kaca. Lalu kami tertawa bersama. Baru kali ini kami berbicara
serius seperti itu. Aku tahu, tawaku dipaksakan. Aku menertawakan diri sendiri,
begitu bodoh sampai tidak bisa mengontrol air mataku sendiri. Ada air mata yang
keluar diantara tawa. Dan air mata ini benar-benar tidak bisa dikendalikan. Ia
merangkulku, lalu kami saling bertatap kembali. Kami tersenyum. Lalu aku
menepuk tangannya, dan cepat pergi dari sana.
Perpisahan. Itulah perpisahan yang sebenarnya. Air mataku keluar tidak
terkendali. Aku terus berlari, tanpa tujuan. Yang pasti, aku tidak mau terlihat
menyedihkan oleh siapa pun.
Aku akan merindukannya. Sekarang pun. Dan sepertinya rindu ini tak
berujung.
***
“Faza!” seseorang memanggil namaku. Aku berbalik, Liya tersenyum ke
arahku. Aku hanya membalas sahutannya dengan melambaikan tangan. Ini hari pertama
aku tidak melihat Fadly di sekolahku. Tidak menemukannya duduk di depanku.
Tidak melihat punggungnya, yang biasanya bergumul diantara kumpulan anak
laki-laki yang sedang bermain kartu. Tidak menemukannya di segala arah
pandangku.
“Gandhi kemarin bilang, kalau dia juga suka sama aku!” Faza dengan
bersemangat bercerita kepadaku. Aku langsung mentapanya tidak percaya.
“Bukannya... Kamu suka sama Fadly?” aku kembali mengingat-ngingat
kejadian 3 hari yang lalu. Liya menggeleng, air mukanya berubah.
“Tapi, waktu itu, kamu nunjuk Fadly,” ucapku lemah.
“Gandhi, Za. Teman bimbel kamu. Kalian kan lumayan dekat. Dia emang waktu itu berdiri di samping Fadly,” Liya heran melihat perubahan raut wajahku.
“Tapi... aku, aku yang suka sama dia,” aku menggigit bibir bawahku,
menahan air mata, sambil tetap mencoba tersenyum. Liya segera memelukku, tanpa
berkomentar apapun. Tangisku pecah dalam diam.
Bodoh. Selama ini aku membohongi diri sendiri. Aku benar-benar menyukai
anak itu. Sejak pertama bertemu aku sudah yakin anak itu ajaib. Dan kini,
perpisahanlah yang menjawab semuanya.
***
PS: Cerita ini gak gue edit sebelumnya. Jadi, kalau ada typo, atau salah pengetikan di- dan ke- gue harap maklum.
Wassalam!