Sabtu, 07 September 2013

See you, soon!

Assalamu'alaikum!

Hello everyone!

Before i 'cuap-cuap', i want to tell you: this post is not about boys, crush, or something like that ya. 

Time flies soo fast. Well, I just realized it. It was 3 years ago, I entered the junior high school and guess what, now I'm a nine grader and it means... I will 'meet' the national exam NEXT YEAR. Surprising. Really surprising. 

And ya, it was a long time ago, i've posted my latest post here. I don't know, is there anyone who read my blog? Is there anyone who keep waiting for every new post from me? Once again, I-don't-know. Yap, gue bukan orang penting, so I think there's no one who cares about this blog. HAHAHA WHAT DID I SAY? I DON'T KNOW OKAY LET'S FORGET ABOUT IT.

I don't even know, when is the first time i joined blogger, what kind of thing I wrote in my first post, who is the first commenter in this blog, how much the reader who already visited this blog and left a comment. I know it's not really important and i know i'm a dramatic person. So... okay, let's forget (for the second time) what did i write.

Okay i should stop to use english to write this post, i'm just like... this is so awkward and this is make me don't know what should i write. Ah, and my english is so bad.

Semua orang punya keinginan. Termasuk gue. Gue mau bikin buku lagi, gue mau sering-sering isi blog, gue mau nilai gue bagus, gue mau ulangan tanpa harus remedial lagi, gue mau diri gue ngerti matematika dan gak buta banget di ips, jago sejarah dunia, ngerti sistem syaraf, dan masih banyak lagi, gue gak bisa nyebutin satu-satu.

Tapi, yaini, penyakit malas kayak udah berakar di tubuh gue. Gue mau banget, bisa mengadakan satu bulan 4 postingan, tapi kesempatannya itu gak ada. Gue akuin, gue udah ngecewain para pembaca (itu pun kalo ada), dengan gak ngepost berbulan-bulan, gak ada kabar, kerjaannya curhat mulu. Dan gak penting banget deh.

Gue lagi bingung sama diri sendiri. Sama perasaan juga. Sometimes, i want to cry as hard as i can with no reason. But sometimes, i can easily be happy just because i see two little boys, acting like their favorite superhero character. Mungkin ini kali ya, yang dimaksud pencarian jati diri? 

Tbh, gue nulis post ini untuk pamit. Gue bakal vakum ngeblog selama gue kelas 9. Because there's so many things that i should've done, there's so many goals that i wanted to reach. One of them is... Lulus dengan nem yang bisa ngantar gue masuk ke shs yang gue mau, tanpa perlu takut dan bingung mau sekolah dimana, dan jadi lulusan terbaik diangkatan gue. It sounds like... "Mimpi apa lo semalam? Gak ketinggian?" 

I believe, there's nothing impossible. Jadi pilihannya cuma satu, you want it? So do the best to reach it. Gue harus fokus. Kadang ada beberapa waktu di mana gue pengen banget nulis. Duduk di kamar, bikin cerita, senyum-senyum kagum sama tokoh bikinan sendiri. Tapi enggak bisa.

Gue rindu rasanya jadi penulis. Bukan jadi pengeluh seperti saat ini.

Selama ini gue bukan penulis. Gue cuma seseorang yang ngeluh betapa gak punya waktunya gue untuk nulis. Pengeluh yang selalu bingung darimana harus memulai menulis. Gue udah sadar. Dan gue bakal berusaha, ngerubah mindset gue. Ngerubah gaya hidup gue yang kebanyakan ngeluhnya. 

Suatu saat nanti. Karena gue juga sadar, i'm not the smart girl, so i should study harder than my friends. Gue mau masuk shs tanpa ribet, jadi gue harus berusaha. Termasuk, nekan perasaan ingin nulis untuk sementara waktu, sampai waktunya di mana nanti gue passed the national exam and get so many holidays. Hihihi, can't hardly waiting for that! 

Gue harap, kita semua bisa sukses dengan apapun yang kita pilih. Dan gue harap, segala sesuatu yang kita pilih merupakan pilihan yang terbaik. Gue yakin kok, hasil yang akan kita dapatkan nanti, bergantung sama apa yang kita lakukan saat ini. So... Do our best to reach our goal(s)!

Sampai jumpa dipostingan selanjutnya!

Goodbye all my fellow. Goodbye, my lovely blog. 
I'll miss you. Oh, I mean... I do miss you.




Wassalam!

Sabtu, 27 Juli 2013

Gadis, tangisan dan bahagia.

Assalamu'alaikum!

Well, i guess that i'm a bad writer. A bad blogger. HAHAHA i've told it a long time ago ya? Biarin, biar diperjelas.

Gue lagi males berbasa-basi, so... here we go!

***

Gadis itu masih terduduk lesu di balkon kamarnya. Menatap langit malam yang berhias bintang yang seolah-olah berkedip ke arahnya. Yah, entahlah, ia juga tak tahu pasti cahaya apa itu, apakah itu benar-benar bintang, ataukah sisa-sisa berkas cahaya dari pesawat terbang yang sempat melintasi langit. Sebenarnya, bukan tidak tahu, ia hanya tidak peduli. Tidak peduli terhadap keadaan disekitarnya. Mana mungkin ia bisa peduli, jika dirinya sendiri sebenarnya membutuhkan kepedulian dari orang lain? Ia menelan ludah teringat kejadian itu, dan tersenyum pahit.

Ia selalu menyukai langit. Bagaimana langit sore membuat ia terdiam beberapa menit, menyaksikan segala warna di langit bersatu padu, melebur menjadi jingga yang kian lama kian menggelap. Bagaimana magenta menemani matahari kembali keperaduannya. Dan pada akhirnya yang tersisa hanya segaris cahaya terang, yang semakin lama tenggelam berganti kelam.

Ia juga menyukai sepinya malam. Jika sudah larut, ia bisa melihat cerminan dirinya, yaitu bulan yang bersinar redup. Kadang ia tertawa, menyaksikan betapa menyedihkannya bulan, sendirian, kesepian diantara bintang dan berbagai cahaya langit malam yang dengan riang bersinar walaupun sinarnya tidak dapat menggantikan cerahnya siang. Saling berlomba menunjukkan siapakah yang paling terang. 

Ah, bulan benar-benar cerminan dirinya. Seorang sepi diantara yang bersinar.

Gadis itu mulai terisak. Sudah 2 minggu berturut-turut ia seperti ini. Sepulang sekolah, mendapat beberapa tumpukan tugas yang harus ia kerjakan. Bukan tugasnya, melainkan tugas teman-teman di sekolah barunya. Mereka bilang, menjadi anak baru harus ada sosialisasinya. Semacam ospek, tapi berlangsung selama 1 bulan. Mereka bilang, sebagai ujian untuk menunjukkan 'kelayakan' memasuki sekolah bergengsi ini. Jika tugas yang dikerjakan salah sedikit saja, akan ada 'balas jasa'-nya. Agar si anak baru dapat kebal dan lebih teliti jika mengerjakan tugas. 

Entah, sudah berapa banyak luka dan memar disekitar tubuhnya, sudah berapa kali keningnya disentil, sudah berapa kali seragamnya dikotori saus dan kecap, sudah berapa kali pipinya ditampar. Sungguh, hanya kesalahan kecil yang ia perbuat! Ia hanya beberapa kali terlambat mengembalikan buku tugas teman-temannya. Hanya lupa menuliskan satuan disetiap perhitungan dan kadang lupa menulis tanggal.  

Penindasan. Miris sekali jika sempat Mamanya mengetahui perlakuan apa yang putrinya dapatkan. Miris sekali jika semua orang tahu, bahwa putri dari seorang konselor, menjadi korban penindasan. Miris sekali jika anak dari seseorang yang sangat mendukung program 'anti bullying dan anti kekerasan rumah tangga' diperlakukan tidak manusiawi di sekolah barunya.

Sudah cukup, Papa melukai Mama. Sudah cukup, perceraian dimasa lampau, kekerasan yang didapatkan Mama membuat Mama tersiksa. Aku tidak ingin menjadi beban. Aku tidak ingin menjadi penyebab luka.

Penindasan ini harus dihentikan. Lingkaran setan ini sudah sampai pada ujungnya. Tidak ada korban selanjutnya. Tidak akan ada. 

Gadis itu mengusap air mata yang tersisa disudut-sudut matanya. Membenci dirinya yang menangis untuk hal yang tidak pantas ditangisi. Tidak apa, ia selalu percaya, bahwa segala sesuatu akan menemui ujungnya. Bahwa setiap tangisan akan berujung bahagia. Ia percaya hal itu. Dan itu berarti ia harus berusaha, dan harus menumbuhkan keberaniannya.

Untuk pertama kalinya dalam 2 minggu ini ia bangkit sebelum malam terlalu larut. Berjalan memasuki kamarnya, mengambil secarik kertas dan sebuah pensil, memikirkan apa yang harus ia lakukan esok hari, apa yang harus ia lakukan untuk menghentikan penindasan yang terjadi pada dirinya.

Ia menuliskan satu persatu hal yang harus ia lakukan. Dan hal yang harus ia lakukan pada urutan pertama adalah: bercerita kepada Mamanya. Entahlah, bagaimana reaksi Mamanya nanti, yang terpenting, sebelum segalanya semakin keruh, segalanya semakin parah dan segalanya terlambat untuk diselesaikan, ia harus memberi tahu Mamanya. Dan menyelesaikan semuanya serapih mungkin.

Ia memejam matanya, mengucap do'a, lalu bergegas keluar menuju kamar Mamanya.

Ia yakin, ia bisa terlepas dari jerat lubang hitam penindasan ini. Karena setiap orang ditakdirkan untuk bahagia.

_________________________________________________________________________________


This story is dedicated to:
Athaya, my ex-classmate, the best ex-chairmate.
Teman seperjuangan mentorin anak-anak KIR.
Hope you enjoy it and glad if you like it^^



8:33
28/07/2013
Fadhilah Muthmainnah

Kamis, 11 Juli 2013

ELO SOMBONG BANGET YA!!!

Assalamu'alaikum!

Oke, kali ini gue mau ngebahas sesuatu. Bukan, bukan ngomongin orang yang tajir banget, sepatunya beli di luar negri, saking sombongnya jalan sampe ngangkang-ngangkang kek orang abis sunat biar pada ngeliat sepatu dia. Well, imajinasi gue terlalu berlebihan.

Gue rasa, lo semua pernah ketemu orang, atau punya teman yang pas ketemu elo, dia langsung nyaut, "EHHH LO SOMBONG BANGET SEKARANG YAAA!!!"

Ish. Entah kenapa gue kurang suka sama orang yang kaya gitu. Yah, gue sendiri sih tau, maksud mereka mungkin cuma bercanda. Tapi ada loh, orang yang serius ngomong kaya gini. Gue gak suka aja, masalahnya lo baru ketemu gue, lalu lo langsung bilang gue sombong. Pertama, it feels like, lo gak kenal sama 'praduga tak bersalah'. Lo langsung menduga gue sombong, padahal belum pasti. Bisa aja ada something yang bikin gue males negur lo. Misalnya, kalo gue senyumin lo, lo malah buang muka. Atau setiap gue ketemu elo, lo lagi bareng temen-temen lo, jadi gue gak enak aja nyapa lo. 

Lagian, apa sombong bisa dinilai dari seberapa sering kita menyapa atau negor temen kita? 

Ada juga, yang padahal kemarennya gue ketemu... Anggap aja si A. Eh besoknya pas gue lagi jalan, dia neriakin gue dengan 'hey-lo-sombong-banget-sekarang' padahal gue gak liat keberadaannya. Phewww, lo lupa apa kemaren kita abis ketemu?

Btw, menurut gue sombong itu banyak jenisnya. Pertama, sombong terhadap kekayaan. Kalau untuk yang satu ini... Uh. Apalagi kalau disombongin itu kekayaan orang tuanya. Rasanya gue mau teriak di depan mukanya, "HELLO! Yang bukan punya lo aja disombongin. Norak. BYE!"

Gue pernah suatu hari pulang dari sekolah. Karena nungguin angkotnya lama banget, gue putuskan untuk jalan kaki. Diperempatan jalan pas gue belok, ada 2 motor--kalau enggak salah--lewat disebelah gue. Gue sih cuek aja, tapi si pengendara motor itu teriak ke arah gue, "Yah, kasian jalan kaki." (seingat gue begitu) Sambil ketawa-tawa. Dan gue baru sadar orang itu adalah temen sekelas gue dan beberapa temennya yang lain.

DAN DIA COWOK! Gue cuma bisa ngucap, dalam hati mendo'akan sesuatu yang buruk terjadi sama dia. Tapi akhirnya gue batalkan do'a itu. Biarkan saja Allah yang membalas. Masalahnya, motor yang dia pakai itu gue yakin pembelian orang tuanya. Ya ngapain sombong wong titipan orang tuamu. Lagipula jalan kan sehat, daripada naik motor, udah badan gede, kebut-kebutan, gaya-gayaan, padahal sim aja gak punya. Ditangkap polisi baru tau rasa.

Astagfirullah... THIS GIRL IS ON FIREEE~~~ *nunjuk diri sendiri*

Yang kedua, sombong terhadap kecerdasan. Menurut gue, sombong terhadap kecerdasan ini karena antara kercerdasan dan nilai agamanya gak berimbang. Jadi bisa begini. Yah, kadang sih bagus juga, buat memotivasi orang lain. Tapi jangan berlebihan juga kan ya?

Misalnya, temen lo nilainya 100 dan lo cuma 70. Dia dengan bertolak pinggang, berkata dengan lantang, "Hahaha kasian, nilai 70 kaya nomor angkot aja. Makanya, punya otak itu diisi! Mending dijual gih, ke luar negeri, mumpung otaknya masih kosong jadi harganya bisa tinggi."

Silahkan ambil samurai dan tebas kepala itu orang detik itu juga!

Yah mungkin orang kayak gitu cuma ada di FTV ya:| Tapi... Gue mau ingetin, think before you talk. Berpikir sebelum bicara. Karena yang namanya ucapan itu... Sekali terlontarkan, gak bakal bisa ditarik kembali. Sukur-sukur itu orang pendengarannya kurang, jadi dia cuma bales, "Apa?" atau "Hah?" dan bersyukurlah lo saat itu juga.

Jujur sih gue termasuk orang yang asal ceplas-ceplos. Apalagi kalo udah kesel dan kebawa emosi. You'll hate me as fast as you can. Kadang gue kalo ngomong bisa bikin sakit hati, terlalu menusuk (atau terlalu 'jujur'? :p) yah jadi sering banget abis ngomong sesuatu, gue langsung menyesal.

Gue punya teman, cowok juga, sekelas, tapi gak deket sih. Orangnya konyol, tubuhnya gempal, anaknya biasa aja. But he's really polite and friendly. Suatu hari gue lagi jalan, mau pulang sekolah. Gue ketemu dia. Dia lagi nungguin angkot. Gue sapa dia. Anggap saja namanya 'Putra'.

"Eh, ada Putra!" sapa gue, dari seberang jalan sih. Gue awalnya mau pura-pura gak ngeliat, tapi dia keburu ngeliat gue, yaudah, gue sapa deh. HAHAHA.

"Eh, Fadhilah. Ngapain lo?" Bales dia, masih berdiri di tempat yang sama.

"Nunggu angkot," bales gue, males-malesan. Beberapa menit kemudian, angkot yang dia tunggu datang. Gue kira dia bakal naik aja gitu, ternyata...

"Eh, Fadhilah, gue duluan ya," ucap dia sebelum naik ke angkot. Dan gue gak sempet jawab apa-apa karena angkotnya keburu jalan.

Now, you can see the different antara si Putra dan temen gue (agak males sih bilang temen, tapi kenyatannya gitu) yang ngatain gue kasian-deh-jalan-kaki.

Dia masih negur gue. RAMAH. Gak ngetawain gue, padahal kalo dia mau dia bisa ngatain gue, "Wey siang bolong berdiri aja dipinggir jalan, udah kaya orang-orangan sawah aja. HAHAHAHA KASIANN!"

Gue sih gak berharap disapa. Paling enggak, ya jangan ngetawain gue. Lo mau naik motor kek, naik elang, naik pesawat jet, yaudah, pakai aja, gak usah pake ngetawain gue. Sederhana, tapi gue ngerasa direndahkan. Ngerasa bahwa 'jalan kaki itu salah'.

Gue masih gak habis pikir, untuk apa sih gaya-gayaan, bawa motor gede, main ke sana-sini, padahal kenyataannya lo masih SMP dan semua yang lo punya berasal dari orang tua lo? Lo boleh bilang gue kuno atau cupulah. Kerjaannya cuma novel dan novel. Gue cuma mencoba ngerti, coba buat nyadar diri, bahwa diusia gue sekarang yang gue perlu cuma belajar. Kalo mau famous, bisa lewat cara lain kok.

Dan gak jarang juga, ada yang maksain kehendaknya ke orang tuanya buat membelikan sesuatu untuk ngikutin trend dan dibilang gaul sama temen-temennya. Entahlah, semoga orang tersebut cepet sadar dan kita jangan sampai terjerumus ke dalam hal itu.

Gue akui gue pasti pernah menyombongi diri, pernah punya rasa mau memamerkan kelebihan gue. Dan yang gue bisa cuma menjaga agar gue gak ngelakuin itu. Sebisa gue. Yah gue akui kadang gue khilaf sih. HAHAHAHA!

Dan gue baru nyadar bahwa postingan ini bisa dibilang panjang. Intinya sih, sombong itu perbuatan jelek. Temennya setan.

#sekian #dan #terimakasih #terimaduitjugakok #inibercanda

Intinya sih, jangan ngejudge orang dari bagaimana dia terlihat. Setiap orang punya kelebihan, jadi gak ada manusia yang terlahir enggak berguna. Yang ada cuma apakah dia sadar dan mengembangkan potensi dia, dan yang masa bodo gue siapa, gue cuma bisa ini, yang penting besok bisa makan. 

Dan juga... Kita harus selalu sadar diri, jaga diri, biar gak terjerumus dari sifat sombong.

Gue masih banyak kekurangan. Jadi anggap aja semua omongan gue ini adalah bentuk dari pengingat untuk diri gue, sekaligus curhat.


Selamat malam! :)



Selamat ulangtahun, Ayah.

Tadi pagi, sebelum ayah saya berangkat ke kantor, Ibu saya bilang bahwa hari ini adalah hari ulang tahun ayah. Saya pun segera mengingat tanggal berpakah sekarang. Dan, ya, tepat hari ini, 51 tahun yang lalu, ayah saya lahir. Sebenarnya, awal-awal bulan Juli yang lalu, saya sudah mengingatkan kepada diri saya bahwa tanggal 11 (hari ini) ayah saya akan berulang tahun. Yah, saya akui kemampuan saya untuk mengingat hal-hal sederhana seperti tanggal ulangtahun, nama seseorang yang tidak terlalu dekat dengan saya, sangat lemah.

Alhasil, yang saya bisa hanya mengucapkan ucapan selamat, serta do'a dan ciuman di pipi ayah saya.

Ayah saya tidak suka dengan istilah ulang tahun. Apalagi yang dirayakan. Bagi ayah, ulang tahun itu merupakan berkurangnya umur kita. Mengapa harus dirayakan? Seharusnya kita bersyukur, karena masih diberikan kesempatan untuk hidup pada usia yang semakin bertambah.

Jika harus jujur, ayah adalah salah satu orang yang saya kagumi. Ayah saya seorang pekerja keras. Sangat disiplin, berwibawa, keras, tapi sangat perhatian. Bukan perhatian semisal setiap menit menelpon saya hanya untuk menanyakan saya sudah makan atau belum, atau saya berada di mana. Tapi dalam bentuk lain. Mengingatkan saya untuk menyempatkan diri untuk sholat duha ketika saya libur, segera membawa saya berobat jika saya kurang enak badan, mengingatkan saya agar tidak telat makan dan mengingatkan saya untuk selalu bersyukur.

Setiap pagi, sebelum adzan subuh berkumandang, ayah saya sudah bangun. Selalu begitu, konstan, walaupun pernah sekali dua kali terlambat akibat terlalu lelah. Ayah segera mengambil wudhu, membersihkan diri, lalu membangunkan saya, kakak, ibu dan adik saya. Setelah itu, ayah akan pergi ke mesjid untuk sholat subuh. Setiap hari. Menghidupkan lampu kamar saya, berkata dengan cukup keras, "Cha, Dhil, ayo bangun. Gak sholat subuh?" Diulang-ulang, terus menerus hingga saya terbangun. Dulu, saya sering merasa terganggu. Tapi segera saya marahi diri saya sendiri, seharusnya saya sangat bersyukur, tidak semua orang bisa seperti saya. Dibangunkan setiap pagi oleh orangtuanya, dan terkadang kami sekeluarga juga sholat berjama'ah di rumah kami yang tidak terlalu luas.

Ayah merupakan orang yang sangat kritis. Sangat mencintai buku, cerdas, dan sangat mencintai dunia politik. Saya sangat suka melihat ayah ketika ia sedang bercerita tentang sesuatu, misalnya tentang buku yang baru saja ia baca, atau ceramah yang baru saja ia dengar saat kuliah subuh di mesjid, atau kutbah saat ia sholat Jum'at. Ayah juga mempunyai banyak obsesi, misalnya menjadi moderator, pengacara, notaris, dan sebagainya. Terkadang saya pusing sendiri, mengapa ayah tidak bisa terfokus pada satu hal? Dan, apa ayah tidak bosan untuk belajar dan terus belajar? Saya sering menanyakan hal itu. Tapi, itulah hidup. Belajar, belajar dan terus belajar.

Bisa dibilang, ayah saya cukup sibuk di kantor. Saya tidak tahu pasti apa yang dikerjakan ayah saya, tapi saya rasa banyak sekali tugas ayah. Terkadang setelah pulang kantor, ayah membuat power point hingga larut malam. Sesekali saya menemani ayah, membantu membacakan sesuatu untuk diketik. Lalu ayah akan bercerita betapa bagus slide yang berhasil ia buat, tema-tema bagus yang ia pakai, materi yang akan ia bawakan besok hari, sambil tersenyum.

Padahal, saya bisa melihat dari matanya. Ia sudah lelah.

Beberapa waktu yang lalu, ayah pernah tidak pulang akibat harus rapat hingga jam 11 malam, lalu berangkat ke Rangkasbitung untuk memantau sesuatu, dan hanya bisa tidur dalam perjalanan ke Rangkasbitung. Saya tetap berkomunikasi lewat blackberry messenger, mengingatkan ayah untuk makan, karena ayah sering kali lupa makan jika sudah sibuk bekerja. 

Saya sering berkata, "Jangan lupa yah, Dhila kan dokter pribadi ayah." Karena saya sering merawat ayah setiap kali ayah sakit. Kebetulan ayah saya rentan sakit jika sudah terlalu lelah, karena ayah mempunyai magh yang bisa dibilang akut, serta ayah pernah menderita flek paru-paru. Terkadang saya suka kesal, karena ayah terkadang begitu keras kepala. Ayah sangat teguh dengan pendiriannya. Ketika ayah sakit, saya akan berceramah, mengingatkan agar selalu menjaga kesehatan, tidak memaksakan diri jika sudah lelah, dan sering-sering minum. Ya, saya memang sangat cerewet di rumah, dimanapun, mungkin. Saya tidak bermaksud untuk memarahi ayah saya sebenarnya, saya hanya ingin ayah bisa lebih memproteksi diri sendiri.

Saya juga melarang ayah untuk bermain sepak bola. Ayah saya suka bermain sepak bola, namun tidak begitu memperhatikan perkembangan sepak bola dunia. Dulu, sesekali setelah pulang kerja, ayah pergi bermain bola bersama rekan-rekan kerjanya, lalu saya akan marah-marah setiap kali melihat ayah membawa sepatu bola saat pulang ke rumah. Saya sudah bilang berkali-kali, jangan bermain bola karena ayah sering sekali kram di kakinya. Saya takut jika tiba-tiba ayah bisa drop. Namun ayah hanya menjawab, "Mainnya cuma sebentar, setengah permainan, kalau sudah capek ya keluar." Dan saya hanya bisa diam.

Sangat banyak hal yang saya kagumi tentang ayah. Walaupun ada beberapa sifat buruk yang dimiliki ayah. Dan yang paling saya sukai, ayah selalu mengajarkan saya untuk terus bersyukur. Untuk apapun, sekecil apapun nikmat itu. Keluarga saya bukan keluarga yang kaya. Kami tinggal di rumah yang tidak begitu luas. Malah, bisa dikatakan kecil. Namun, ayah selalu mengingatkan, "Besyukur, kita masih bisa tinggal di rumah yang aman dengan nyaman. Lihat orang lain diluar sana. Tidur dipinggir jalan, makan dari sembarang tempat. Bersyukur, dan meminta rezeki agar kita bisa pindah ke rumah yang lebih nyaman, yang lingkungannya lebih baik lagi."

Kami sekeluarga sering makan nasi padang bersama, duduk dilantai, lalu makan bersama-sama. Ayah sering berkata, "Nanti, kalau sudah besar, ingat hari ini. Kita makan bersama-sama, dari tempat yang sama. Makanya, kalau sudah besar nanti, saling membantu saudaranya masing-masing." 

Kadang, kami sekeluarga berdebat, saling bertukar pikiran, tentang banyak hal. Misalnya, tentang lahan parkir yang semakin sempit di Jakarta, tentang betapa tidak dihargai musisi di Indonesia, tentang korupsi yang merajalela, dan sebagainya. Tidak jarang diselingi tawa dan canda, akibat adik saya yang belum mengerti sehingga ia berkomentar tidak jelas, terlihat sekali kepolosannya. 

Sampai hari ini, saya akui, saya begitu jauh dari Allah. Saya sering sekali lupa bersyukur, terlalu sibuk dengan dunia. Dan saya sangat berharap, semoga saya bisa menjadi manusia yang lebih baik dari hari kehari, dan tentu saja, dapat berguna bagi orang lain.

Saya harap, ayah dapat sehat selalu, mendapat keberkahan, selalu mengingat Allah, dapat menjaga kesehatannya, dan dipanjangkan umurnya. Serta dapat bermanfaat bagi orang lain.

Saya tahu, setiap marah yang ayah tuju kepada saya, merupakan tanda kasih sayang. Tanda kepedulian, tanda takut jika saya menjadi orang yang tidak benar. Begitu juga dengan saya. Setiap omelan saya setiap kali ayah sakit, itu semua bentuk dari kasih sayang saya. Saya takut, sangat takut, jika kondisi ayah drop. Saya tidak tega setiap kali ayah mengaduh sakit di dadanya, atau ketika ayah tertidur berselimut, tidak nafsu makan ketika magh-nya sedang kambuh. 

Saya menyayangi ayah saya, ibu saya, adik dan kakak saya. Saya mencintai keluarga saya. Dan bagaimanapun juga, sebanyak apapun kekurangan keluarga ini, keluarga saya adalah keluarga terbaik bagi saya. Tidak akan bisa digantikan, dan saya sudah merasa cukup atas semua yang saya punya sekarang.

Sekali lagi saya ucapkan, selamat ulang tahun, ayah. Semoga diusia 51 tahun ini mendapat keberkahan dan selalu mendapatkan ridho Allah. 




11/07/2013
21:56
Fadhilah Muthmainnah

Minggu, 30 Juni 2013

HOLA VOILA!

Assalamu'alaikum!

Hello world! Hello everyone! How's life? Great right? Ehehehe gue dateng-dateng nanya serobotan ya...

Well, sebelumnya gue mau bilang selamat untuk semua pelajar, baik kelas 6, 9 maupun kelas 12 yang baru aja passed the national exam. Semoga nilainya bagus-bagus ya, dan masuk sekolah/universitas yang diinginkan! Dan juga buat yang naik kelas, tingkatkan prestasi terus ya! :)

Uhm, gue baru nyadar, GILA! TAHUN 2013 GUE BARU NGEPOST 2 POSTINGAN!!! DAN SEKARANG UDAH MAU BULAN JULI! DAN ITU GAK PRODUKTIF ABIS!

Sorry vroh, sorry. Semenjak kelas 8 semester 2 gue jadi tambah sibuk. Les ini itu, kerja kelompok, dan sebagainya. Dan guess what? Gue baru aja terima rapor dan gue naik kelas! Dan yang lebih mengejutkan lagi... GUE RANKING 1! YEAYYY!!! Gue padahal udah hopeless banget, secara nyaris 2 tahun gue gak ranking 1. Ranking 1 se-kelas, sih, kalo se-sekolah ranking 6. Phew. Phew. Phew.

Eh, salah. ALHAMDULILLAH! WASYUKURILLAH!! 

Btw, gue bingung mau ngomong apa. Banyak banget yang mau gue ceritain! Hehehe. Karena ya itu, selama gue menghilang, banyak banget kejadian yang gue alamin.

And this is holiday. Di mana PR lebih baik dicekal keberadaannya sementara waktu. Di mana mandi bisa jam berapa aja, makan sepuasnya, no worry and be happy. Nonton sepanjang malam, pergi ke sana-sini, online berjam-jam.

But, if you want your holiday be something good and useful, menghasilkan uang... Ini saatnya lo mengembangkan bakat lo, atau yah hobi lo. Misalnya lo hobi nyanyi, so do it. Mungkin lo bisa upload rekaman suara lo ke soundcloud. Kalau lo hobi nulis, ikut lomba nulis. Atau ikut seminar nulis dan sebagainya. Atau, yang gampang aja deh, lo ngeblog. Ngeblog ngelatih nulis juga kan? Misalnya lo hobi baca, ya baca sepuasnya, lalu lo bisa bikin review dari novel yang udah lo baca. Atau lo bisa ikut kuis-kuis di twitter, facebook, blog yang berhadiah novel, atau mungkin liburan ke luar negri.

Beberapa orang bingung, apa yang harus dia lakukan pada saat liburan. Iya, jujur ini gue rada curhat. Gue sebenarnya udah lama banget niat mau nulis, tapi setiap nyoba entah kenapa yang ada gue bingung:( Karena udah lama banget gak nulis, ya gini deh... Kayak 'nyawanya' hilang gitu...

Semoga aja gue bisa kembali seperti sedia kala. Dan gue rasa, segini dulu postingannya. Tunggu postingan gue selanjutnya!





Wassalam!




Selasa, 23 April 2013

World Book Day!

Happy World Book Day guys!

So... Apa kabar? Semoga baik ya. Gue sih sebenarnya baru tau kalau hari ini itu World Book Day--dari twitter--dan ya, gue ngikut-ngikut aja. Tapi gue nyari tahu, dan gue suka banget gitu sama--mungkin-- taglinenya, "Read, Write, Share."

Menurut gue, kita membaca, terus kita jadi penasaran untuk nulis. Dan kita berbagi sama orang lain tentang hal-hal tulis menulis. Ide yang bagus kan? Saling menularkan sesuatu yang positif. So... Gue ikut-ikutan pakai twibon di avatar.

Serius... Gue ngerasa norak abis...

Well, norak untuk hal seperti itu gue malah bangga campur senang! Oh ya, berhubung lagi Hari Buku, dan taglinenya, "Read, Write, Share." Gue mau ngobrol-ngobrol nih.


Soal membaca. Sekarang, gue lagi ngebaca bukunya Karen Rose yang judulnya Scream Of Me. Baru 30 halaman sih, tapi so far, seru kok. Buku itu gue beli pas ada obral di Gramedia Matraman. Pas mau liburan. Gue kalap beli 5 buku langsung... Karena harganya juga gak mengecewakan. Terus, 2 hari setelahnya, gue pergi lagi ke Gramed buat nemenin temen gue. Yah, akhirnya gue beli buku lagi 1. Kalap... 

Sebelumnya, gue baca bukunya Esti Kinasih yang 'Jingga dan Senja' dan 'Senja dalam Elegi'. Trilogi, tapi yang baru terbit baru 2. Dan sekarang gue menunggu untuk buku terakhir yaitu: Senja untuk Matahari!

Soal nulis... Gue, tahun lalu pernah nulis cerita anak. Iya, baru 1 buku. Dan buku itu gue tulis waktu gue kelas 6 SD. Waktu itu, gue lagi produktif banget. Bikin cerpen, baca buku, ikut kuis berhadiah buku. Gue sangat gak nyangka, kelas 6 SD gue udah punya pikiran seperti itu. Sampai akhirnya gue bikin 1 novel. Novel itu sebenarnya bukan ide gue. Awalnya ini buku duet. Tapi karena kelamaan, temen duet gue lupa sama alurnya. Jadi, dia gasih naskah itu ke gue. Gue rombak dan voila, alhamdulillah, ditolak. Ya, pertama ngirim, naskah itu ditolak. Yah, namanya juga anak-anak, tentu aja kesal. Karena kesal, gue pun ngirim naskah itu ke penerbit lain, tanpa edit, karena gue yakin bakal ditolak juga. Tapi, 3 bulan setelah gue kirim, gue dapat email bahwa naskah itu diterima. Waktu itu gue baru-baru masuk SMP. Dan... Tentu, gue senang banget. Sekaligus, heran, apa gak salah kirim? Tapi emang gak salah kirim ternyata :D

Gue pun ngirim biodata dan foto gue. Sebenarnya, disuruh bikin sinopsis. Tapi akhirnya sinopsisnya dibikin dari penerbitnya... Karena gue juga gak bisa bikin...

Itu pengalaman gue, gimana gue bikin buku pertama gue. Dan sampai sekarang buku gue masih segitu-gitu juga... Tapi, selain nulis buku, gue juga suka bikin puisi dan cerpen. Dulu sih. Gue iseng kirim ke majalah Beeanglala, majalah anak-anak, dan diterima juga! Gue pun makin rajin bikin puisi, walaupun ada yang ditolak juga. Kadang, buat ngakal-ngakalin, tugas Bahasa Indonesia kadang kan disuruh bikin puisi gitu, nah, puisi bikinan gue itu gue kirim ke majalah. Dan... Ada yang diterbitkan!

Nulis itu bisa disebut hobi. Nulis iseng-iseng, kadang juga bisa bikin ngasilin uang kok. Kayak misalnya gue, nerbitin 1 buku, gue dapat royalti. Yah lumayan banget lah bagi gue, buat jajan. Terus juga, honor gue jadi penulis lepas (gayanya..) di majalah anak-anak juga lumayan. Honornya emang bukan uang, tapi paket buku. Ensiklopedia, komik tentang tokoh-tokoh bersejarah, dan kita juga dikasih majalah 3 buah untuk satu karya. (Dulu sih, sekarang gue kurang tau...) Salah satunya yang nerbitin karya kita. 

Dari iseng, bisa menghasilkan sesuatu, menurut gue jadi gak sia-sia. Nambah uang jajan, nambah koleksi bacaan dan lainnya. Nulis juga bikin gue mengenal dan dikenal orang, dapat teman, ada beberapa orang yang ngirim pesan di facebook gue, dia nanya, gue yang nulis ini ya, dan syukur alhamdulillah ada yang bilang suka karya gue. Hal yang paling enak menjadi penulis itu menurutu gue: Karyanya diterima, lalu terbit, apalagi disukai pembaca. Dan walaupun penulis senang kalau karya dia disukai orang, mereka butuh komentar. Malah mungkin, komentar itu sebuah... Jalan, agar bisa ngoreksi kesalahan-kesalahan dia, sehingga dibuku selanjutnya mereka bisa menghasilkan karya yang lebih baik. Semacam investasi masa depan gitulah... :p

Dan untuk royalti... Itu bonus dari keseluruhannya. Setiap penulis yang baik, pasti selalu gak puas sama karyanya. Jadi, mereka akan terus cari kesalahan mereka di mana, belajar dan terus belajar memperbaiki tulisannya. Kadang juga, kita dapat tawaran buat ikut acara, atau wawancara dan sebagainya.

Salah satu ilustrasi buat cerpen gue :D


Honor dari nulis puisi + cerpen yang iseng-iseng tapi menghasilkan sesuatu!


Majalah-majalah yang gue dapat (Yang beberapa ada karya gue di dalamnya)

Hahaha... Lumayan banget kan, hanya sekedar iseng-iseng doang? So... Ayo menulis! Selain menambah teman, nambah wawasan juga. Kalau mau nulis, rajin-rajin baca. Bisa ngenal cara penokohan, alur dan sebagainya. Nambah ilmu terutama.

Dan yang terakhir, share. Yap, di atas adalah 'bagaimana' gue ngeshare pengalaman gue, dan ngajak orang-orang untuk menulis, karena menulis itu banyak hal positifnya. Tapi... Jangan sekali-sekali mengcopy karya orang. Big no. Karena untuk menciptakan karya itu butuh waktu dan kreatifitas + ide. Dan semua itu gak bisa didapatkan dengan uang. Pakai kreatifitas. Ide itu ada di sekitar kita, kita tinggal peka, dan salurkan lewat tulisan.

Tapi, udah setahun ini gue gak produktif. Faktor males, sih. Males-malesan aja, gue udah bisa dapat manfaat. Apalagi kalau gue produktif? Hahaha, gue lagi berusaha buat melawan kemalasan dan nulis lagi. Do'ain gue ya!

Segitu dulu kayaknya. Semoga postingan ini bermanfaat, dan kalian yang baca postingan ini termotivasi, lalu ngeshare ke orang-orang lain. Dan kita pun bisa saling menguntungkan, kan? Berbagi hal positif itu baik loh.

Kalau ada yang mau tanya-tanya, langsung post di comment box ya!



Wassalam! :)


Senin, 18 Maret 2013

Cerita Yang (Belum) Berjudul


Assalamu'alaikum!

Udah lama... Banget gue gak update blog. Udah lama gak ngetik. Ngetik apa aja. Naskah, postingan, tweet pun juga jarang.  Maka, malam ini gue berniat untuk menulis lagi, selagi satu minggu ke depan gue bakal liburan.
Sebenarnya, pernah beberapa waktu yang lalu gue memutuskan untuk enggak nulis-nulis lagi. Gue ngerasa kok gue untuk nulis itu males banget. Dan berpikir bahwa mungkin menulis bukan bidang gue. Tapi, kadang gue minder juga, ngeliat cover buku teman-teman gue yang produktif abis. Emang, kita masih kecil. Tapi kita bisa berkarya. Mungkin bukan kita, tapi mereka:/ *karena jelas gue pemalas abis*
Selain itu, gue juga kadang malu. Nulis hal-hal yang (bagi gue) gak jelas, terlalu kekanak-kanakkan. Apalagi di novel pertama gue. Gue pun gak nyangka bisa nulis cerita sedemikian rupa! Dan sekali lagi, itu novel anak-anak. Gue yang udah SMP, jujur, malu. Gimana kalau ada yang ngeledek gue dan bilang gue anak SMP tapi imajinasinya anak SD? Makanya, cuma sedikit orang yang tau tentang novel pertama gue. Guru-guru pun juga sangat sedikit yang tau. Karena gue gak membeberkan, dan gue bilang ke temen-temen gue yang tau tentang novel pertama gue biar mereka gak menyebarkan hal itu. 
But my expectation was wrong. Sangat salah. Beberapa teman yang tau, sangat ngedukung. Bahkan ada beberapa teman yang jadi suka nulis gara-gara gue. Ada yang nanya, gimana caranya. Nanya tentang kepenulisan, nanya tentang cara ngirim naskah. Dan gue ngerasa bahwa ternyata ketakutan gue selama ini itu adalah kebodohan yang baru gue sadari. Takut akan hal-hal yang belum terjadi, is it weird? No, it's extremely weird! 
Makanya, gue mulai bersemangat nulis lagi. Apalagi gue barusan browsing tentang pengiriman naskah dibeberapa penerbit. Beberapa minggu lalu juga gue nulis kerangka tulisan, nama tokoh dan lainnya. (Padahal besoknya mau uts:p) Tapi untuk sekarang, gue berpindah genre. Genre remaja:))) Karena gue rasa, gue sudah sampai pada titik jenuh gue. Dan gue sangat butuh hal baru. Tapi, ada dua draft novel yang belum selesai. Gue bakal selesaikan (insyaAllah), lalu mulai dengan project baru. 
Gue bakal belajar untuk percaya diri, bangga sama karya gue sendiri. Terserah, orang mau ngeledek gue aneh, atau apapun. Yang penting gue bisa berkarya. Gak cuma ngomong dengan maksud ngejek orang. Omong kosong yang kayak gitu gue rasa amat sangat gak penting untuk didengar, apalagi ditanggapi. Dan pada saat itulah, kita pantas menerapkan 'masuk kuping kanan, keluar kuping kiri'.

(Setelah nulis sepanjang ini, gue merasa on fire. Oke, gak lucu.)

Kebetulan, pas buka folder naskah-naskah, gue menemukan satu cerita tanpa judul. Gue inget, gue nulis cerita ini untuk ikut nulis rame-rame sama teman-teman dunia maya yang belum pernah gue lihat di kehidupan nyata. Sayangnya, deadlinenya terlalu cepat. Jadi ada beberapa teman ada yang gak bisa nyelesaikan naskahnya. Gue, dengan keahlian ngetik asal dengan beberapa jari saja, dalam 3 hari bisa menyelesaikan naskah gue! Sayangnya, belum ada judulnya. Ini cerita pertama genre remaja yang gue tulis. Bukan yang pertama deh, entah yang ke berapa, tapi yang gue temukan cuma ini. Sooo, gue mau berbagi. Minta komentar (yang membangun, tentunya). Atau ada yang bisa bantu usul judulnya? Boleh juga. Yang terpenting sekarang, semoga ada yang bersedia baca cerita ini.

***

Tahun ajaran baru. Kelas baru. Yang aku yakin akan banyak hal baru yang akan datang menghampiri kehidupanku. Pelajaran baru, orang-orang baru, akan segera masuk ke dalam kehidupanku. Begitu pun sebaliknya. Sebagian orang di masa lalu, akan merangkak, pergi dari kehidupanku. Menentukan jalan sendiri, untuk mencapai tujuannya sendiri.
Aku akan berusaha menyesuaikan diri, dengan apa yang akan terjadi di kehidupanku. Tidak peduli, siapapun itu yang akan memasuki kehidupanku. Yang pasti, saat ini, dia masih tertangkap dalam penglihatanku. Fadly, teman laki-lakiku. Yang Ibuku bilang bahwa dia adalah tetanggaku saat masih di Surabaya. Yang katanya dulu, pernah satu sekolah bersamaku saat sekolah dasar dulu. Entahlah, katanya, tapi aku melupakan semua itu.
Seketika ia menatap kearahku. Dengan terburu-buru aku mengalihkan pandanganku ke buku catatan Fisika yang sedari tadi menunggu dirapihkan. Dasar, anak itu selalu saja tahu jika sedang diperhatikan.
Masih tetap menatap buku catatanku, aku melirik ke arahnya. Ia berjalan menuju tempat duduknya, yang tepat berada di depanku. Aku mengambil pulpen, cepat-cepat menyalin catatan yang ada di papan tulis. Ternyata tidak, ia berhenti tepat di depan mejaku.
“Ini namanya Doraemon,” ia mengambil miniatur boneka Doraemonku yang ku letakkan di atas meja. Miniatur itu selalu ku bawa ke mana pun aku pergi. Ia menatapnya dengan seksama, memutar balikkan tubuh boneka itu.
Aku berhenti menulis, mengalihkan pandanganku kepadanya,“Tidak di beri tahu pun aku juga tahu kalau itu Doraemon!”
“Sepertinya dia sakit.” Ia mengusap dagu, lalu tanpa menghiraukan ucapanku, ia segera duduk di tempat duduknya. Entah apa yang ia lakukan, namun itu cukup membuatku penasaran. Aku bangun dari tempat dudukku, duduk di sampingnya sambil mengamati setiap gerak-geriknya. Ia menuliskan sesuatu di atas sebuah kertas, lalu menggulung kertas itu dan menempelkannya pada tubuh miniatur Doraemonku itu.
“Sudah sembuh.” Ia mengembalikan boneka itu kepadaku, lalu berjalan menghampiri beberapa anak lelaki yang sedang berkumpul di depan kelas, asik bermain kartu remi. Aku pun segera membuka gulungan kertas itu.
Pulang sekolah bersama?
Aku tergelak kecil. Kejutan lagi. Aku tersenyum ke arahnya. Tanpa sadar tatapan kami beradu. Tidak ingin menghancurkan suasana ini, aku mengacungkan ibu jariku, sambil tetap tersenyum. Ia pun tertawa pelan.
Inilah yang kusuka darinya. Sesuatu yang tak terduga. Kejutan sederhana yang tanpa kusadari membuat hatiku melambung. Entah kapan perasaan ini muncul, sepertinya aku mulai tertarik dengannya.
***
“Za, kamu pernah gak sih, suka sama seseorang?” Liya memandangku. Dengan tatapannya yang seperti itu, aku tahu ia sedang ingin bicara serius. Aku pun meneguk minumanku, lalu mencari posisi yang enak.
“Pernah. Sekarang pun begitu. Kayaknya sih,” ucapku menimbang-nimbang.
“Aku lagi suka sama seseorang.”
“Laki-laki atau perempuan?” aku tergelak, lalu dibalas dengan sebuah pukulan yang cukup kencang di lenganku.
“Laki-lakilah. Aku perempuan tulen, tau! Serius deh, aku lagi suka sama seseorang...”
Aku menunggunya melanjutkan ucapannya. Satu detik... dua detik... tetap diam. Aku memiringkan sedikit kepalaku ke arahnya, “Lalu?”
“Lalu?”
“Itu wajar, Ya. Itu tandanya kamu normal. Lalu, sekarang masalahnya apa? Ngomong-ngomong, siapa laki-laki beruntung itu? Anak sekolah kita, atau smp lain?”
Liya menunjuk ke arah seorang anak laki-laki yang sedang memunggungi kami. Ia sedang  berkumpul dengan beberapa anak laki-laki yang tergabung dalam ekskul futsal. Aku tercekat, saat laki-laki itu membalikan badannya. Fadly. Lagi-lagi ia tahu bahwa ia sedang diperhatikan... dan ia tersenyum kepadaku, sambil melambaikan tangannya.
“Aku harus gimana? Kamu kan deket tuh sama dia.”
Dan karena ‘dekat’ itu pula yang membuat aku mulai melihatnya. Memerhatikan setiap gerak-geriknya, tersenyum saat ia memainkan gitarnya, tergelak dengan setiap kejutan kecil darinya. Aku menyukainya. Apapun tentangnya, tanpa alasan apapun. Entah, aku egois atau apa, tapi aku memiliki keinginan untuk memilikinya. Hanya untukku, tidak untuk dibagi oleh siapapun. Mungkin memang belum pantas untuk anak remaja sepertiku. Dan aku juga tidak mengharapkan lebih. Aku hanya ingin dia terus bersamaku, tanpa membagi ruang kebersamaan kami dengan orang lain.
“Apa hubungannya denganku?” aku cemberut.
“Kamu kan dekat sama dia.”
“Lalu?” aku kembali meneguk minumanku, hingga benar-benar habis.
“Kenalin aku lah. Buat kami deket.”
“Hih, males banget. Tanpa upah pula.”
Aku meninggalkan Liya dengan wajah masamnya. Upah bukanlah suatu alasanku menolak permintaannya. Saat ini yang aku pikirkan hanya aku, perasaanku, dan juga Fadly. Keegoisan melandasi segalanya. Kata orang, cinta itu buta. Aku memang benar-benar buta, hingga dengan Liya, tetangga sekaligus sahabatku semenjak aku menginjakkan kaki di Jakarta, aku tega menghancurkan hatinya. Maafkan aku.
Seseorang menepuk bahuku. Anak ini lagi...
“Kenapa tadi nunjuk-nunjuk aku?”
“Siapa yang tadi nunjuk-nunjuk kamu?”
“Liya. Tadi kan dia sama kamu. Lagi ngomongin aku? Yang baik atau yang buruk?”
“Memangnya kamu ada yang baiknya?”
“Sialan!”
Kami pun tertawa. Seketika rasa kesal itu berganti dengan senang. Entah dia berasal dari negeri sihir mana, setiap kali bersamanya, atau mendengar suaranya, sejurus perasaan hangat merasuki tubuhku. Atau mungkin dia manusia biasa, namun perasaanku kepadanya yang membuat dia begitu ajaib?
“Nanti ke rumah yuk. Udah lama kita gak main. Semenjak masuk tahun ajaran baru, kita jadi sibuk sama diri sendiri. Kangen banget main bareng.”
Aku menunduk, menggigit bibir bawahku. Menahan agar senyumku tak mengembang. Sudah ku katakan belum, bahwa anak ini ajaib?
Aku mengangguk. Ia pun menepuk punggungku sekali lagi, lalu berlari ke arah lapangan basket. Aku tahu apa yang ingin dia lakukan. Kebiasaannya, menjadi hama diantara anak-anak yang sedang berlatih basket. Merebut bolanya, lalu membawanya kabur.
Aku hafal hal itu. Dan segala sesuatu tentangnya. Aku harap, aku menjadi satu-satunya orang yang sangat memahami, dan mengetahui apapun tentangnya. Tanpa sadar aku tersenyum, melihat tingkah jenakanya sungguh merupakan hiburan gratis yang sangat membuatku candu.
Dia sangat ajaib bukan?

***

“Gimana, gitar baruku, keren?” tanya Fadly sesampainya aku di rumahnya. Dengan bangga ia memamerkan gitar baru pemberian ayahnya karena ia masuk 3 besar pada kenaikan kelas yang lalu.
Setelah dijamu dengan segelas es teh dan sepiring pisang goreng oleh Tante Hartati, kami mengobrol di teras depan. Fadly tak henti-hentinya berbicara tentang gitar barunya. Perjuangannya hingga mendapatkan gitar itu, suara merdu yang dihasilkannya, dan berbagai macam pujian ia ucapkan untuk gitarnya. Aku hanya diam, pura-pura memperhatikan ucapannya, padahal aku lebih tertarik melihat bagaimana ia menyampaikannya. Mulutnya yang yang berkomat-kamit tidak berhenti berbicara, matanya yang sibuk menerawang, dan sesekali ia memejam sambil tersenyum. Tangannya yang kurus membelai-belai tubuh gitarnya, sesekali asal memetik, lalu bertanya, “Keren kan?” dan hanya ku jawab dengan sebuah anggukan.
“Tapi, aku belum pernah benar-benar memainkannya. Kamu mau nyanyi?”
“Suaraku kan jelek. Kamu selalu berkata begitu setiap kali aku bernyanyi,” Jawabku singkat. Padahal dalam hati aku menjerit kesenangan.
“Tapi aku menikmatinya.”
Tiba-tiba rintik hujan turun. Aroma petrichor mulai memenuhi rongga hidungku. Aku memejamkan mata sejenak. Menikmati kesunyian dan kesejukan ini. Tiba-tiba Fadly mulai memetik gitarnya. Aku melirik ke arahnya. Ia sedang memejamkan mata, menikmati permainan gitarnya sendiri. Aku memejam kembali, mulai bersenandung, lalu menyanyikan lagu yang menjadi lagu favoritku itu. Kami pun larut dalam keheningan. Menikmati petikan gitarnya yang berpadu dengan setiap rintik hujan.
“Aku salah. Suara kamu bagus.”
“Tentu saja, memangnya kamu pernah benar?” aku tergelak.
“Tapi suara gitar ini membuatmu ingin bernyanyi tanpa diminta, bukan?”
Kamulah yang membuatku ingin menyanyi. “Aku cuma tes vokal. Itu belum benar-benar bernyanyi.”
“Halah, biasanya juga suara kamu ngalahin ayam. Tumben-tumbenan aja bagus.” Ia tergelak. Aku balas dengan pukulan yang sangat kencang hingga ia mengaduh kesakitan. Lalu ia menjewer kupingku, dan aku balas menjambak rambutnya yang sedikit gondrong. Di bawah dinginnya rintik hujan, ada tawa hangat yang terjalin antara kita. Aku selalu berharap, momen seperti ini bisa kurekam, dan kapan pun aku mau, aku dapat mengulangnya kembali.
“Aku bakal balik ke Surabaya.”
Aku langsung terdiam, saat mendengar ucapannya itu. “Kita kan baru masuk sekolah, dan sebentar lagi materi pelajaran juga semakin padat. Rugi kalau kamu bolos.”
“Aku bakal menetap di sana. Untuk jangka waktu yang belum ditentukan.”
Aku segera menatapnya. Mencari kebohongan di manik matanya. Namun tidak ku temukan. Raut wajahnya pun tidak menunjukan sedang bercanda. Aku tertawa.
“Aku serius, Faza.”
“Serius bercandanya? Hahaha, tapi hal kaya gini, gak pantas buat dibercandain, Dly.”
“2 hari lagi aku ke Surabaya. Hari minggu. Dan rencananya besok aku mau main futsal lawan anak SMP Tunas Bangsa. Kamu datang ya, jam 9 di lapangan biasa.”
“Kalau aku datang, apa bisa kamu batal ke Surabaya?” aku terdiam. Sedetik kemudian, tawaku memecah.
“Paling enggak, kita bisa ketemu sebelum aku pergi. Maaf, aku baru ngasih tau kamu hal ini.”
“Maaf juga gak bakal ngerubah keadaan. Kamu juga bakal pergi. Kata kamu kita sahabat, kenapa hal kayak gini baru kamu kasih tau ke aku? 2 hari sebelum keberangkatanmu! Apa jangan-jangan kamu ngajak aku ke rumah kamu buat perpisahan?” aku tertawa hambar. Mataku basah.
Ini kali pertamanya aku menyukai seseorang. Dan orangnya pun juga belum mengetahui perasaanku ini. Aku benci keadaan ini. Benar dugaanku, cinta dapat membuat kita terlihat bodoh. Benar-benar bodoh, hingga tidak bisa membedakan yang mana realita dan yang mana lelucon. Tidak dapat menerima kenyataan, berharap sedang berada di dalam mimpi. Dulu, aku selalu mengata-ngatai temanku yang sedang jatuh cinta. Menangis dengan alasan yang tidak jelas, bahagia berlebih dengan alasan yang sederhana. Dan kini aku merasakannya.
Dadaku sesak. Aku berharap bumi menelanku sekarang juga.

***

Jam 9 tepat. Aku memasuki area penyewaan lapangan futsal, dan langsung menuju lapangan yang biasa di sewa anak-anak ekskul futsal setiap kali sparing dengan anak sekolah lainnya. Benar. Sepertinya seluruh anak-anak ekskul futsal, baik yang akan bermain maupun tidak, sudah berkumpul di sana. Itulah kebiasaan disekolahku, main ataupun tidak bermain, datang merupakan kewajiban. Katanya, sih, bentuk dari solidaritas, dan saling memberi dukungan. Entahlah dalam rangka apa dan sejak kapan kebiasaan itu berlangsung, aku suka dengan kebiasaan yang satu itu.
Permainan sepertinya sudah di mulai. Kali ini, aku rasa aku tidak bersemangat untuk memberikan dukungan seheboh biasanya. Aku rasa duduk dipinggir lapangan lebih baik. Mungkin aku terlihat sedang memperhatikan permainan yang sedang berlangsung. Namun sebenarnya, aku hanya memperhatikan gerakan seseorang bernomor punggung 8. Dengan detil, aku mengikuti setiap gerakannya saat ia menggiring bola. Tanpa bisa dikontrol pikiran ku melayang jauh, memikirkan segala sesuatu yang belum benar-benar terjadi.
Menjadi sesedih ini, karena seseorang laki-laki. Baru kali ini aku rasakan. Sering kali, aku berkata kepada teman-temanku, bahwa masih banyak hal-hal sederhana yang dapat membuat kita bahagia, daripada membuang-buang waktu memikirkan seseorang, yang tidak tahu mengenai kita. Atau mungkin, memang tidak pernah mau tau tentang kita?
Dulu, sama sekali tidak pernah terpikirkan, bahwa Fadly akan pergi meninggalkanku. Dia selalu bersamaku. Berada di sampingku. Setiap hari duduk di depanku. Mungkin karena itu tidak pernah sedikit pun, terbersit rasa takut akan kehilangannya. Tapi kini aku merasakannya. Takut untuk hal-hal yang belum terjadi. Membayangkan bagaimana jika aku tidak dapat melihatnya setiap hari? Mendengar permainan gitarnya, mendapat kejutan-kejutannya yang sederhana yang membuatku senang, keusilannya, kepolosannya. Bermain di rumahnya sepulang sekolah, mengobrol bersama jika aku sedang menemani Mamaku ke rumahnya. Aku menggeleng. Terlalu pahit rasanya. Untuk sekedar membayangkan saja, aku takut.
“Ey! Datang juga. Makasih ya. Kita unggul!”
Aku menengadahkan kepalaku. Dia. Seseorang yang selama ini berada di sampingku. Seseorang yang bayangnya selalu menari dikepalaku. Seseorang yang akhir-akhir ini aku sadari, memenuhi ruang hatiku. Fadly.
“Ya. Selamat. Udah selesai?” tanyaku asal.
“Udah. Kan emang biasanya gitu, cuma 1 jam. Kamu kenapa?”
“Kenapa apanya? Ini, minum,” ucapku sambil menyodorkan sebotol air mineral kepadanya. Ia mengambil botol air mineral tersebut, lalu, tanpa meminum terlebih dahulu, ia berjongkok di depanku. Aku terkejut.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Kehilanganmu,” Ucapku pelan. “Kebiasaan, kan, gak bawa handuk? Untung aku bawa,” aku mengambil sebuah handuk kecil di dalam tas yang aku pakai. Lalu menyodorkan kepadanya, “Jorok. Lap dulu keringatmu.”
“Tuntutan pekerjaan Papa, Za. Aku juga gak bisa nolak. Mana mungkin Papa tinggal sendiri di Surabaya? Aku juga sebenarnya gak mau,” ucapnya memelas. Matanya sibuk menangkap tatapan mataku.
Aku hanya terdiam. Memainkan kukur-kuku jariku, dengan tetap menundukan kepala. Aku tidak suka terlihat lemah dan bersedih seperti ini. Aku membenci keadaan ini. Aku menghapus air mata yang mulai tampak di sudut-sudut mataku. Menyedihkan.
“Aku mau pulang,” ucapku beberapa menit setelah itu. Fadly berdiri, lalu duduk di sampingku. Ia meneguk air mineral yang tadi kuberikan, dan menghapus keringat yang ada di sekitar pelipisnya, lalu dia mengembalikan handuk yang tadi kuberikan. Aku menyodorkan kembali handuk itu, sambil menggeleng.
“Aku antar?”
“Gak usah. Jam berapa besok kamu pergi?”
“Jam 3 pagi aku pergi ke Bandara. “
“Jaga diri kamu di sana. Aku bakal kangen. Serius deh,”
“Tumben, biasanya kamu gak peduli,” aku selalu peduli. Hanya kamu yang tidak pernah sadar dan melihatku. “Bercanda. Kamu orang yang paling perhatian setelah orang tuaku. Jaga diri kamu juga, fokus belajarnya, sebentar lagi kan ujian. Aku juga pasti bakal rindu sama kamu,” ia mengelus punggung tanganku, lalu menepuk-nepuk punggungku. Setelah itu ia melepas sebuah gelang yang melingkar di pergelangan tangannya, dan memasukan gelang itu ke pergelangan tanganku.
“Aku sayang kamu. Dan semoga kamu sadar hal itu. Jangan pernah lupa sama aku, jangan pernah ngecewain orang tua kamu. Kita gak boleh lost contact. Oke?” aku memberanikan diri menatap manik matanya, matanya ikut basah.
“Janji. Jangan cengeng gitu, ah. Aku jadi ikutan sedih,” ia mengalihkan tatapannya. Seperti sedang menghapus sesuatu dari pelupuk matanya.
Aku menepuk punggungnya, saling bertatap. Mata kami sama-sama merah, dan berkaca-kaca. Lalu kami tertawa bersama. Baru kali ini kami berbicara serius seperti itu. Aku tahu, tawaku dipaksakan. Aku menertawakan diri sendiri, begitu bodoh sampai tidak bisa mengontrol air mataku sendiri. Ada air mata yang keluar diantara tawa. Dan air mata ini benar-benar tidak bisa dikendalikan. Ia merangkulku, lalu kami saling bertatap kembali. Kami tersenyum. Lalu aku menepuk tangannya, dan cepat pergi dari sana.
Perpisahan. Itulah perpisahan yang sebenarnya. Air mataku keluar tidak terkendali. Aku terus berlari, tanpa tujuan. Yang pasti, aku tidak mau terlihat menyedihkan oleh siapa pun.
Aku akan merindukannya. Sekarang pun. Dan sepertinya rindu ini tak berujung.

***

“Faza!” seseorang memanggil namaku. Aku berbalik, Liya tersenyum ke arahku. Aku hanya membalas sahutannya dengan melambaikan tangan. Ini hari pertama aku tidak melihat Fadly di sekolahku. Tidak menemukannya duduk di depanku. Tidak melihat punggungnya, yang biasanya bergumul diantara kumpulan anak laki-laki yang sedang bermain kartu. Tidak menemukannya di segala arah pandangku.
“Gandhi kemarin bilang, kalau dia juga suka sama aku!” Faza dengan bersemangat bercerita kepadaku. Aku langsung mentapanya tidak percaya.
“Bukannya... Kamu suka sama Fadly?” aku kembali mengingat-ngingat kejadian 3 hari yang lalu. Liya menggeleng, air mukanya berubah.
“Tapi, waktu itu, kamu nunjuk Fadly,” ucapku lemah.
“Gandhi, Za. Teman bimbel kamu. Kalian kan lumayan dekat. Dia emang waktu itu berdiri di samping Fadly,” Liya heran melihat perubahan raut wajahku.
“Tapi... aku, aku yang suka sama dia,” aku menggigit bibir bawahku, menahan air mata, sambil tetap mencoba tersenyum. Liya segera memelukku, tanpa berkomentar apapun. Tangisku pecah dalam diam.
Bodoh. Selama ini aku membohongi diri sendiri. Aku benar-benar menyukai anak itu. Sejak pertama bertemu aku sudah yakin anak itu ajaib. Dan kini, perpisahanlah yang menjawab semuanya.

***


PS: Cerita ini gak gue edit sebelumnya. Jadi, kalau ada typo, atau salah pengetikan di- dan ke- gue harap maklum. 


Wassalam!