Sabtu, 27 Juli 2013

Gadis, tangisan dan bahagia.

Assalamu'alaikum!

Well, i guess that i'm a bad writer. A bad blogger. HAHAHA i've told it a long time ago ya? Biarin, biar diperjelas.

Gue lagi males berbasa-basi, so... here we go!

***

Gadis itu masih terduduk lesu di balkon kamarnya. Menatap langit malam yang berhias bintang yang seolah-olah berkedip ke arahnya. Yah, entahlah, ia juga tak tahu pasti cahaya apa itu, apakah itu benar-benar bintang, ataukah sisa-sisa berkas cahaya dari pesawat terbang yang sempat melintasi langit. Sebenarnya, bukan tidak tahu, ia hanya tidak peduli. Tidak peduli terhadap keadaan disekitarnya. Mana mungkin ia bisa peduli, jika dirinya sendiri sebenarnya membutuhkan kepedulian dari orang lain? Ia menelan ludah teringat kejadian itu, dan tersenyum pahit.

Ia selalu menyukai langit. Bagaimana langit sore membuat ia terdiam beberapa menit, menyaksikan segala warna di langit bersatu padu, melebur menjadi jingga yang kian lama kian menggelap. Bagaimana magenta menemani matahari kembali keperaduannya. Dan pada akhirnya yang tersisa hanya segaris cahaya terang, yang semakin lama tenggelam berganti kelam.

Ia juga menyukai sepinya malam. Jika sudah larut, ia bisa melihat cerminan dirinya, yaitu bulan yang bersinar redup. Kadang ia tertawa, menyaksikan betapa menyedihkannya bulan, sendirian, kesepian diantara bintang dan berbagai cahaya langit malam yang dengan riang bersinar walaupun sinarnya tidak dapat menggantikan cerahnya siang. Saling berlomba menunjukkan siapakah yang paling terang. 

Ah, bulan benar-benar cerminan dirinya. Seorang sepi diantara yang bersinar.

Gadis itu mulai terisak. Sudah 2 minggu berturut-turut ia seperti ini. Sepulang sekolah, mendapat beberapa tumpukan tugas yang harus ia kerjakan. Bukan tugasnya, melainkan tugas teman-teman di sekolah barunya. Mereka bilang, menjadi anak baru harus ada sosialisasinya. Semacam ospek, tapi berlangsung selama 1 bulan. Mereka bilang, sebagai ujian untuk menunjukkan 'kelayakan' memasuki sekolah bergengsi ini. Jika tugas yang dikerjakan salah sedikit saja, akan ada 'balas jasa'-nya. Agar si anak baru dapat kebal dan lebih teliti jika mengerjakan tugas. 

Entah, sudah berapa banyak luka dan memar disekitar tubuhnya, sudah berapa kali keningnya disentil, sudah berapa kali seragamnya dikotori saus dan kecap, sudah berapa kali pipinya ditampar. Sungguh, hanya kesalahan kecil yang ia perbuat! Ia hanya beberapa kali terlambat mengembalikan buku tugas teman-temannya. Hanya lupa menuliskan satuan disetiap perhitungan dan kadang lupa menulis tanggal.  

Penindasan. Miris sekali jika sempat Mamanya mengetahui perlakuan apa yang putrinya dapatkan. Miris sekali jika semua orang tahu, bahwa putri dari seorang konselor, menjadi korban penindasan. Miris sekali jika anak dari seseorang yang sangat mendukung program 'anti bullying dan anti kekerasan rumah tangga' diperlakukan tidak manusiawi di sekolah barunya.

Sudah cukup, Papa melukai Mama. Sudah cukup, perceraian dimasa lampau, kekerasan yang didapatkan Mama membuat Mama tersiksa. Aku tidak ingin menjadi beban. Aku tidak ingin menjadi penyebab luka.

Penindasan ini harus dihentikan. Lingkaran setan ini sudah sampai pada ujungnya. Tidak ada korban selanjutnya. Tidak akan ada. 

Gadis itu mengusap air mata yang tersisa disudut-sudut matanya. Membenci dirinya yang menangis untuk hal yang tidak pantas ditangisi. Tidak apa, ia selalu percaya, bahwa segala sesuatu akan menemui ujungnya. Bahwa setiap tangisan akan berujung bahagia. Ia percaya hal itu. Dan itu berarti ia harus berusaha, dan harus menumbuhkan keberaniannya.

Untuk pertama kalinya dalam 2 minggu ini ia bangkit sebelum malam terlalu larut. Berjalan memasuki kamarnya, mengambil secarik kertas dan sebuah pensil, memikirkan apa yang harus ia lakukan esok hari, apa yang harus ia lakukan untuk menghentikan penindasan yang terjadi pada dirinya.

Ia menuliskan satu persatu hal yang harus ia lakukan. Dan hal yang harus ia lakukan pada urutan pertama adalah: bercerita kepada Mamanya. Entahlah, bagaimana reaksi Mamanya nanti, yang terpenting, sebelum segalanya semakin keruh, segalanya semakin parah dan segalanya terlambat untuk diselesaikan, ia harus memberi tahu Mamanya. Dan menyelesaikan semuanya serapih mungkin.

Ia memejam matanya, mengucap do'a, lalu bergegas keluar menuju kamar Mamanya.

Ia yakin, ia bisa terlepas dari jerat lubang hitam penindasan ini. Karena setiap orang ditakdirkan untuk bahagia.

_________________________________________________________________________________


This story is dedicated to:
Athaya, my ex-classmate, the best ex-chairmate.
Teman seperjuangan mentorin anak-anak KIR.
Hope you enjoy it and glad if you like it^^



8:33
28/07/2013
Fadhilah Muthmainnah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar