Kamis, 11 Juli 2013

Selamat ulangtahun, Ayah.

Tadi pagi, sebelum ayah saya berangkat ke kantor, Ibu saya bilang bahwa hari ini adalah hari ulang tahun ayah. Saya pun segera mengingat tanggal berpakah sekarang. Dan, ya, tepat hari ini, 51 tahun yang lalu, ayah saya lahir. Sebenarnya, awal-awal bulan Juli yang lalu, saya sudah mengingatkan kepada diri saya bahwa tanggal 11 (hari ini) ayah saya akan berulang tahun. Yah, saya akui kemampuan saya untuk mengingat hal-hal sederhana seperti tanggal ulangtahun, nama seseorang yang tidak terlalu dekat dengan saya, sangat lemah.

Alhasil, yang saya bisa hanya mengucapkan ucapan selamat, serta do'a dan ciuman di pipi ayah saya.

Ayah saya tidak suka dengan istilah ulang tahun. Apalagi yang dirayakan. Bagi ayah, ulang tahun itu merupakan berkurangnya umur kita. Mengapa harus dirayakan? Seharusnya kita bersyukur, karena masih diberikan kesempatan untuk hidup pada usia yang semakin bertambah.

Jika harus jujur, ayah adalah salah satu orang yang saya kagumi. Ayah saya seorang pekerja keras. Sangat disiplin, berwibawa, keras, tapi sangat perhatian. Bukan perhatian semisal setiap menit menelpon saya hanya untuk menanyakan saya sudah makan atau belum, atau saya berada di mana. Tapi dalam bentuk lain. Mengingatkan saya untuk menyempatkan diri untuk sholat duha ketika saya libur, segera membawa saya berobat jika saya kurang enak badan, mengingatkan saya agar tidak telat makan dan mengingatkan saya untuk selalu bersyukur.

Setiap pagi, sebelum adzan subuh berkumandang, ayah saya sudah bangun. Selalu begitu, konstan, walaupun pernah sekali dua kali terlambat akibat terlalu lelah. Ayah segera mengambil wudhu, membersihkan diri, lalu membangunkan saya, kakak, ibu dan adik saya. Setelah itu, ayah akan pergi ke mesjid untuk sholat subuh. Setiap hari. Menghidupkan lampu kamar saya, berkata dengan cukup keras, "Cha, Dhil, ayo bangun. Gak sholat subuh?" Diulang-ulang, terus menerus hingga saya terbangun. Dulu, saya sering merasa terganggu. Tapi segera saya marahi diri saya sendiri, seharusnya saya sangat bersyukur, tidak semua orang bisa seperti saya. Dibangunkan setiap pagi oleh orangtuanya, dan terkadang kami sekeluarga juga sholat berjama'ah di rumah kami yang tidak terlalu luas.

Ayah merupakan orang yang sangat kritis. Sangat mencintai buku, cerdas, dan sangat mencintai dunia politik. Saya sangat suka melihat ayah ketika ia sedang bercerita tentang sesuatu, misalnya tentang buku yang baru saja ia baca, atau ceramah yang baru saja ia dengar saat kuliah subuh di mesjid, atau kutbah saat ia sholat Jum'at. Ayah juga mempunyai banyak obsesi, misalnya menjadi moderator, pengacara, notaris, dan sebagainya. Terkadang saya pusing sendiri, mengapa ayah tidak bisa terfokus pada satu hal? Dan, apa ayah tidak bosan untuk belajar dan terus belajar? Saya sering menanyakan hal itu. Tapi, itulah hidup. Belajar, belajar dan terus belajar.

Bisa dibilang, ayah saya cukup sibuk di kantor. Saya tidak tahu pasti apa yang dikerjakan ayah saya, tapi saya rasa banyak sekali tugas ayah. Terkadang setelah pulang kantor, ayah membuat power point hingga larut malam. Sesekali saya menemani ayah, membantu membacakan sesuatu untuk diketik. Lalu ayah akan bercerita betapa bagus slide yang berhasil ia buat, tema-tema bagus yang ia pakai, materi yang akan ia bawakan besok hari, sambil tersenyum.

Padahal, saya bisa melihat dari matanya. Ia sudah lelah.

Beberapa waktu yang lalu, ayah pernah tidak pulang akibat harus rapat hingga jam 11 malam, lalu berangkat ke Rangkasbitung untuk memantau sesuatu, dan hanya bisa tidur dalam perjalanan ke Rangkasbitung. Saya tetap berkomunikasi lewat blackberry messenger, mengingatkan ayah untuk makan, karena ayah sering kali lupa makan jika sudah sibuk bekerja. 

Saya sering berkata, "Jangan lupa yah, Dhila kan dokter pribadi ayah." Karena saya sering merawat ayah setiap kali ayah sakit. Kebetulan ayah saya rentan sakit jika sudah terlalu lelah, karena ayah mempunyai magh yang bisa dibilang akut, serta ayah pernah menderita flek paru-paru. Terkadang saya suka kesal, karena ayah terkadang begitu keras kepala. Ayah sangat teguh dengan pendiriannya. Ketika ayah sakit, saya akan berceramah, mengingatkan agar selalu menjaga kesehatan, tidak memaksakan diri jika sudah lelah, dan sering-sering minum. Ya, saya memang sangat cerewet di rumah, dimanapun, mungkin. Saya tidak bermaksud untuk memarahi ayah saya sebenarnya, saya hanya ingin ayah bisa lebih memproteksi diri sendiri.

Saya juga melarang ayah untuk bermain sepak bola. Ayah saya suka bermain sepak bola, namun tidak begitu memperhatikan perkembangan sepak bola dunia. Dulu, sesekali setelah pulang kerja, ayah pergi bermain bola bersama rekan-rekan kerjanya, lalu saya akan marah-marah setiap kali melihat ayah membawa sepatu bola saat pulang ke rumah. Saya sudah bilang berkali-kali, jangan bermain bola karena ayah sering sekali kram di kakinya. Saya takut jika tiba-tiba ayah bisa drop. Namun ayah hanya menjawab, "Mainnya cuma sebentar, setengah permainan, kalau sudah capek ya keluar." Dan saya hanya bisa diam.

Sangat banyak hal yang saya kagumi tentang ayah. Walaupun ada beberapa sifat buruk yang dimiliki ayah. Dan yang paling saya sukai, ayah selalu mengajarkan saya untuk terus bersyukur. Untuk apapun, sekecil apapun nikmat itu. Keluarga saya bukan keluarga yang kaya. Kami tinggal di rumah yang tidak begitu luas. Malah, bisa dikatakan kecil. Namun, ayah selalu mengingatkan, "Besyukur, kita masih bisa tinggal di rumah yang aman dengan nyaman. Lihat orang lain diluar sana. Tidur dipinggir jalan, makan dari sembarang tempat. Bersyukur, dan meminta rezeki agar kita bisa pindah ke rumah yang lebih nyaman, yang lingkungannya lebih baik lagi."

Kami sekeluarga sering makan nasi padang bersama, duduk dilantai, lalu makan bersama-sama. Ayah sering berkata, "Nanti, kalau sudah besar, ingat hari ini. Kita makan bersama-sama, dari tempat yang sama. Makanya, kalau sudah besar nanti, saling membantu saudaranya masing-masing." 

Kadang, kami sekeluarga berdebat, saling bertukar pikiran, tentang banyak hal. Misalnya, tentang lahan parkir yang semakin sempit di Jakarta, tentang betapa tidak dihargai musisi di Indonesia, tentang korupsi yang merajalela, dan sebagainya. Tidak jarang diselingi tawa dan canda, akibat adik saya yang belum mengerti sehingga ia berkomentar tidak jelas, terlihat sekali kepolosannya. 

Sampai hari ini, saya akui, saya begitu jauh dari Allah. Saya sering sekali lupa bersyukur, terlalu sibuk dengan dunia. Dan saya sangat berharap, semoga saya bisa menjadi manusia yang lebih baik dari hari kehari, dan tentu saja, dapat berguna bagi orang lain.

Saya harap, ayah dapat sehat selalu, mendapat keberkahan, selalu mengingat Allah, dapat menjaga kesehatannya, dan dipanjangkan umurnya. Serta dapat bermanfaat bagi orang lain.

Saya tahu, setiap marah yang ayah tuju kepada saya, merupakan tanda kasih sayang. Tanda kepedulian, tanda takut jika saya menjadi orang yang tidak benar. Begitu juga dengan saya. Setiap omelan saya setiap kali ayah sakit, itu semua bentuk dari kasih sayang saya. Saya takut, sangat takut, jika kondisi ayah drop. Saya tidak tega setiap kali ayah mengaduh sakit di dadanya, atau ketika ayah tertidur berselimut, tidak nafsu makan ketika magh-nya sedang kambuh. 

Saya menyayangi ayah saya, ibu saya, adik dan kakak saya. Saya mencintai keluarga saya. Dan bagaimanapun juga, sebanyak apapun kekurangan keluarga ini, keluarga saya adalah keluarga terbaik bagi saya. Tidak akan bisa digantikan, dan saya sudah merasa cukup atas semua yang saya punya sekarang.

Sekali lagi saya ucapkan, selamat ulang tahun, ayah. Semoga diusia 51 tahun ini mendapat keberkahan dan selalu mendapatkan ridho Allah. 




11/07/2013
21:56
Fadhilah Muthmainnah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar